Selasa, 20 November 2012

Pemikiran Kalam Ulama Modern


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dalam Islamic Studies atau Dirasat Islamiyah, ilmu kalam (`ilm al-kalâm) termasuk kajian yang pokok dan sentral. Ilmu ini termasuk rumpun ilmu ushuluddin (dasar-dasar atau sumber-sumber pokok agama). Begitu sentralnya kedudukan ilmu kalam dalam Dirasat Islamiyah sehingga ia menawari, mengarahkan sampai batas-batas tertentu "mendominasi" arah, corak, muatan materi dan metodologi kajian-kajian keislaman yang lain, seperti fikih, (al-ahwal al-syakhsyiyah, perbandingan mazdhab, jinayah-siyasah), ushul fiqh, filsafah (Islam), ulum al-tafsir, ulum al-hadist, teori dan praktik dakwah dan pendidikan Islam, bahkan sampai merembet pada persoalan-persoalan yang terkait dengan pemikiran ekonomi dan politik Islam.
Sering kali dijumpai bahwa umat Islam, baik sebagai individu dan lebih-lebih sebagai kelompok, mengalami kesulitan keagamaan -untuk tidak mengatakan tidak siap-ketika harus berhadapan dengan arus dan gelombang budaya baru ini. Bangunan keilmuan kalam klasik rupanya tidak cukup kokoh menyediakan seperangkat teori dan metodologi yang banyak menjelaskan bagaiamana seorang agamawan yang baik harus berhadapan, bergaul, bersentuhan, berhubungan dengan penganut agama-agama yang lain dalam alam praksis sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

B.     Rumusan Masalah
1.      Siapa saja tokoh pemikir ilmu kalam modern?
2.      Bagaimanakah pemikiran-pemikiran para tokoh ilmu kalam modern?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk :
1.      Mengetahui siapa saja tokoh pemikir dalam ilmu kalam modern.
2.      Memahami bagaimana pemikiran para tokoh-tokoh ilmu kalam tersebut.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Muhammad Bin Abdul Wahab
1.      Riwayat Singkat Wahabi
Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1115 di kota Uyinah bagian dari kota Najad. Semasa belajar di Madinah para gurunya merasa khawatir akan masa depan muridnya itu, karena terkadang pernyataan-pernyataan ekstrim dan keliru terucap dari lisannya, sampai-sampai mereka berkata, :“ jika Muhammad bin Abdul Wahab pergi bertabliqh, pasti ia akan menyesatkan sebagian masyarakat.”
Selagi ayahnya masih hidup, Muhammad bin abdul Wahab adalah tipe seorang yang pendiam, tetapi setelah wafat ayahnya pada tahun 1153, tirai yang menghalangi keyakinannya terkuak.
Dua aspek yang membantu penyebaran dakwah Muhammad bin Abdul Wahab ditengah-tengah masyarakat arab Baduy Najad yaitu:
1.      Mendukung sistem politik keluarga Su’ud.
2.      Menjauhkan masyarakat Najad dari peradaban, ilmu pengetahuan dan keotentikan ajaran Islam.
Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab dengan slogannya pemurnian tauhid dan perlawanan kepada syirik secara pelan-pelan mengalami perkembangan bahkan berhasil menarik perhatian orang yang jauh dari najad seperti Amir Muhammad bin Ismail San’ani (1099-1186) penulis buku “Subulussalam” dalam syarahnya (Bulughul murom) yang menerima dan mengikuti ajarannya.
2.      Pemikiran dalam Aliran Wahabi
Paham wahabi dengan pondasi pemikiran Salafi menentang seluruh bentuk perubahan dalam kehidupan umat manusia. Ketika Abdul Aziz bin Abdurrahman pada tahun 1344 Q menjadi penguasa dua haram yang suci (mekkah al mukarramah dan madinah al munawwarah), terpaksa harus membangung dan mengatur system pemerintahannya sesuai dengan model pemerintahan pada umumnya ketika itu dan merubah pola kehidupan wahabi yang sesuai dengan kebiasaan arab Baduy-Najad.
Dan ia menyetujui mengimpor produk teknologi modern ketika itu seperti telegraf, telephon, sepeda, mobil dan lain-lain. Dan sikapnya ini membakar api kemarahan para pengikutnya yang muta’shib, menyebabkan terjadinya kejadian tragedi berdarah yang terkenal dalam sejarah sebagai peristiwa “berdarah Akhwan”.
Ahmad Amin, penulis asal Mesir, ketika membahas tentang kelompok Wahabi, mengatakan bahwa pemikiran wahabi sekarang yang berkembang ini pada hakikatnya 100 persen bertolak belakang dengan pemikiran wahabi di masa lalu. Ahmad Amin menulis: “Wahabi menolak peradaban baru dan tuntutan peradaban baru dan modern, mayoritas di antara mereka meyakini bahwa hanya Negaranyalah sebagai negara islam sementara Negara-negara lain bukan Negara islam karena negara-negara tersebut telah menciptakan bid’ah bahkan menyebarluaskannya dan wajib bagi mereka memerangi Negara tersebut.
Semasa Ibn Sa’ud berkuasa, ia menghadapi dua kekuatan besar dan tidak jalan lain kecuali harus memilih salah satunya yaitu pertama, pemuka-pemuka agama yang tinggal di Najad memiliki akar pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab yang menolak dengan keras segala bentuk perubahan dan peradaban baru. Kedua; arus peradaban baru yang dalam system pemerintahn sangat membutuhakn alat tekhnoligi modern tersebut.
Pemerintahan, mengambil jalan tengah dari kedua kekuatan tersebut dengan cara mengakui Negara-negara islam yang lain sebagai negara Islam dan juga di samping menggiatkan pengajaran agama mereka juga memberikan pengajaran peradaban modern dan mengatur sistem pemerintahannya berdasarkan sistem pemerintahan modern. Untungnya para pemimpin Negara Saudi telah lelah melayani cara berpikir dan aturan-aturan kering dan kaku pemikiran wahabi yang menjauhkan kaum muslimin dari sunnah dan warisan sejarah yang diyakini seluruh kaum muslimin dan menghancurkan tampat-tempat suci mereka juga menafikan seluruh bentuk penemuan baru dan menganggapnya sebagai bidah.




B.     Syekh Muhammad Abduh
1.      Riwayat Singkat Muhammad Abduh
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah, Ia lahir di desa Mahallat Nashr Kabupaten Al-Buhairah, mesir pada tahun 1849 M. Ia Bukan berasal dari  keturunan orang kaya atau keturunan Bangsawan. Namun ayah di kenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan.[1]
Kekerasan yang di terapkan oleh penguasa-penguasa Muhammad Ali dalam memungut pajak menyebabkan penduduk berpindah-pindah tempat untuk menghindari nya, Abduh lahir pada kondisi yang penuh deanga kecemasan ini.[2]
Pada mulanya abduh di kirim ayahnya ke masjid Al-Ahmadi, tetapi belakangan tempat ini menjadi pusat kebudayaan selain Al-Azhar. Namun sisitem di sana sangat menjengkelkan sehingga setelah dua tahun dia di sana, ia memutuskan untuk kembali  ke desanya dan bertani seperti saudaranya. Ketika kembali kedesa, ia di kawinkan, pada sa’at itu ia berumur 16 Tahun. Semula ia bersikeras untuk tidak melanjutkan studi nya, tetapi ia kembali belajar atas dorongan paman, Syekh Darwish, yang banyak mempengaruhi kehidupan Abduh sebelum bertemu dengan Jamaluddin Al-Afgani, atas jasa nya itu Abduh berkata “ia telah membebaskan aku dari penjara kebodohan dan membimbingku menuju ilmu pengetahuan ”
Abduh melanjutkan studi ke Al -Azhar  pada bulan Februari 1866, pada tahun 1871 Jamaluddin Al-Afgani tiba di mesir. Ketika itu abduh masih menjadi mahasiswa al-azhar menyambut kedatangan nya. Ia selalu menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiahnya dan ia pun menjadi murid kesayangan Al-afgani. Al-afgani pulalah yang mendorong abduh menulis dalam bidang social dan politik. Artikel-artikel pembaharuan nya banyak di muat pada surat kabar Al-Ahram di Kairo.
Setelah menyelesaikan Studinya di Al-Azhar pada tahun 1877 dengan gelar Alim, abduh mulai mengajar di Al-Azhar. Di Dar-ulum dan di rumahnya sendiri. Ketika al-afgani di usir dari Mesir pada tahun 1879 karena di tuduh mengadakan gerakan perlawanan terhadap Khedewi Taufiq, abduh juga di tuduh di dalamnya, ia di buang keluar kota Kairo.
Namun, pada tahun 1880, ia di perbolehkan kembali keibukota, kemudian di angkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah mesir, Al-Waqa’i al-mishriyyah. Pada waktu itu kesadaran Nasional Mesir mulai tampak dan di bawah pimpinan abduh, surat kabar resmi itu memuat artikel-artikel tentang urgenitas nasional mesir, di samping berita-berita resmi.
Setelah revolusi Urabi 1882 (yang berakhir dengan kegagalan) abduh ketika itu masih memimpin surat kabar Al-Waqa’i, ia di tuduh terlibat dalam revolusi besar tersebut sehingga pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya selama 3 tahun dengan memberi hak kepadanya untuk memilih tempat untuk pengasingannya. Dan ia memilih Suriah. Ia menetap selama setahun. Kemudian ia menyusun gurunya Al-afgani yang ketika itu berada di Paris. Di sana mereka menerbitkan surat kabar Al-Urwah Al-Wutsqa, yang bertujuan mendirikan pan-islam menentang penjajah barat, khususnya Inggris.
Tahun 1885 abduh di utus oleh surat kabar tersebut ke inggris  untuk menemui tokoh-tokoh negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir.[3] Tahun 1899. abduh di angkat menjadi Mufti Mesir, kedudukan besar itu ia pegang sampai ia meninggal dunia Tahun 1905.
2.      Pemikiran-pemikiran Kalam Muhammad Abduh
Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Abduh, sebagaimana diakuinya sendiri, yaitu:
1.      Membebaskan akal pemikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagai mana haknya salaf al-ummah (ulama sebelum abad ke-3 Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Qur’an.
2.      Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintahan maupun dalam tulisan-tulisan media massa.

Dua persoalan pokok itu muncul ketika ia meratapi perkembangan ummat Islam pada masanya. Sebagaimana dijelaskan Sayyid Qutub, kondisi ummat Islam saat ini dapat digambarkan sebagian “suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapt pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah atau meng­-istinbat-kan hukum-hukum, karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.
Atas dasar kedua fokus pikiran nya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang diberikan olehnya sehingga Harun Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberi kekuatan yang lebih tinggi kepada akal daripada Mu’tazilah. Menurut Abduh akal dapat mengetahui hal-hal berikut ini:[4]
  1. Tuhan dan sifat-sifatnya
  2. Keberadaan hidup diakhirat
  3. Kebahagiaan jiwa diakhirat bergantung pada upaya mengenal tuhan danberbuat baik, sedangkan kesengsaraanya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat
  4. Kewajiban manusia mengenal tuhan
  5. Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan diakhirat
  6. hukum-hukum mengenai kewajiban itu.[5]
Dengan memperhatikan perbandingan Muhammad Abduh tentang peranan akal diatas, dapat diketahui pula bagaimana fungsi wahyu baginya adalah sebagai  penolong (al-mu’min). kata ini pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia.
Wahyu, katanya, menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat. Mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya. Menyempurnakan akal tentang tuhan dan sifat-sifatnya. Dan mengetahui cara beribadah serta berterima kasih pada Tuhan. dengan demikian, wahyu bagi Abduh  berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal dan informasi.
Lebih jauh Abduh memandang bahwa menggunakan akal merupakan salah satu dasar Islam. Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal. Islam, kata nya, adalah agama yang pertama kali mengikat persaudaraan antara akal dan agama. Menurutnya, kepercayaan kepada eksistensi Tuhan juga berdasarkan akal, wahyu yang dibawa nabi tidak mungkin bertententangan dengan akal.
Kalau ternyata keduanya terdapat pertentangan, menurutnya, terdapat penyimpangan dalam tataran interpretasi sehingga diperlukan interpretasi lain yang mendorong pada penyesuaian.[6]

C.    Syaikh Waliyullah
1.      Riwayat Hidup Syaikh Waliullah
Syaikh Waliyullah al-dahlawi, adalah seseorang Ulama yang serba bisa, dia tidak saja sebagai seorang ahli Hukum, atau Mufasir, dan juga Muhadis, tetapi dia juga dikenal dengan seorang sufi, dan juga Mujaddid.  Oleh karena itu “Syeh Waliyullah al-Dahlawi ini salah satu tokoh besar tarikat Naksabandiah di india, trutama Naqsabandiah Mudzahairiah. Tariqah Naqsabandiah cabang Mudzahairiah berasal dari india.
Kalau dilihat dari silsilahnya “Syeh waliyullah al-Dahlawi” ini masih nyambug kepada Umar Ibn Khathab, Sehingga selain kata al-dahlawi, dibelakan namanay sering dilengkapi dengan al-Umari, dan al-Faruqi ini dilihat dari garis ayahnya, kalau dilihat dari garis ibunya “Syeh Waliyullh al-Dahlai” menyambung kepada Ali ibn Thalib.
2.      Pemikiran Syaikh Waliullah
Al-Dahlawi telah menghasilkan banyak kitab, diantaranya al-fauz al-kabir fi ushul at-tafsir, yang berisi metodologi tafsir dan tafsiran baru yang disesuaikan dengan zaman, termasuk didalamnya ide tentang asbab an-nuzul makro. Gagasan-gagasan beliau oleh Pemikir Islam terutama di India. Pujian terhadap ad-Dahlawi diantaranya diungkapkan oleh Muhammad Iqbal, seorang pujangga dan penyair Islam dari Pakistan, “Syaih Waliyullah ad-Dahlawi adalah ulama besar terakhir”.
Sepeninggal ad-Dahlawi, gagasan pembaharuannya dilanjutkan dan dikembangkan oleh Pemimpin gerakan pembaharuan Islam di India, seperti Syaih Abdul Azizi (putranya) Sayid Ahmad Sahid, Syaih Ismail (cucu), Sayid Syarifatullah, Shidiq Khan, dan lain sebagainya.
Menurut Syeikh Waliyullah al-Dahlawi Manusia mempunya tiga perangkat ruhani dengan sifat-sifatnta yang khas, yaitu: Pertama adalah العقل, akal adalah perangkat yang mampu menangkap hal-hal yang tidak dapat ditangkap oleh indra, akallah yang mampu menciptakan khayalan, dan mampu mewujudkan pertimbangan yang dapat memerintah terhadap jasmani dan ruhani serta mampu menciptakan perenungan yang baik. Kedua adalah القلب, hati adalah perangkap yang mampu menangkap dan mempertimbangkan sifat-sifat yang menonjol dalam dri manusia, yaitu berupa Kasih sayang, Cinta, Ridha, Marah, Benci, Kikir. Cinta pangkat dan harta, hati juga dapat menghentikan baik buruknya manusia. Ketiga adalah النفس, nafsu adalah merupakan prangkat ruhani yang mampu menimbulkan rangsangan-rangsangan melalui kebutuhan perut dan seksual.
Selain itu juga pendapat Syeikh Waliyullah Mengenai penyangga ihsan dalam kehidupan seseorang muslim.
-          Pertama النظافة (kebersihan), adalah Untuk membersihkan manusia dapat dilakukan dengan wudhu, dan mandi sebagai mana yang diperintahkan dalam agama islam, namun kebersihan ruhani dari segala kotoran yang dapat mengakibatkan dosa.
-          Kedua أقم الصلاة(Mendirikan sholat), dengan mendrikan sholat seseorang selalu dapat mendapat lindungan dari Allah SWT,  dan juga didalam sholat juga terwujud zikir yang mendalam, dan do’a intensif dalam kehadiran ruhani dan jasmani serentak.
-          Ketiga تطبيق كريم (berlaku murah hati), sifat murah hati ini yang terdapat dalam dri manusia dapat mengatasi segala nafsu serakah yang mengancam kebersihan ruhani.
-          Keempat ينصف (berbuat adil) berbuat adil disini mengarah untuk umun, dri sendri, keluarga dan kepada semua mahluk, dan ini merupakan ajaran pokok agama islam.

D.    Muhammad Iqbal
1.      Riwayat Hidup Muhammad Iqbal
Muhammad iqbal di lahirkan di Sialkot pada tahun 1873. ia berasal dari keluarga Kasta Brahmana Khasmir. Ayah nya adalah Nur Muhammad yang terkenal Sholeh. Guru pertama nya adalah ayahnya. Kemudian di masukkan kedalam sebuah Maktab untuk mempelajari Al-Qur’an, dan setelah itu ia di masukkan Scottish Mission School, di bawah bimbingan Mir Hasan, ia di beri pelajaran agama, bahasa Arab dan Persia. Setelah ia menyelesaikan sekolahnya, ia pergi ke Lahore, sebuah kota besar di India untuk melanjutkan belajarnya di Government College. Di sini ia bertemu dengan Thomas Arnord, se orang Orietalis yang menjadi guru besar dalam bidang filsafat pada universitas tersebut.[7]
Pada tahun 1905 setelah mendapatkan gelar M.A. di Government College, Iqbal pergi ke Inggris untuk belajar filsafat pada Universitas Cambridge. Dua tahun kemudian ia pindah ke Munich, Jerman. Di universitas ini ia mendapat gelar Ph.D. dalam tasawuf dengan desertasi yang berjudul The Development Of Metaphysies In Persia (perkembangan metafisika di persia).
Iqbal tinggal di Eropa kurang lebih tiga tahun, sekembalinya dari Munich. Ia menjadi Advokat dan dosen.buku yang   The Reconstruction of Religious Thought in Islam adalah kumpulan dari ceramah –ceramahnya sejak tahun 1982 dan merupakan karyanya yang terbesar dalam bidang Filsafat.
Pada tahun 1930, Iqbal memasuki bidang politik dan menjadi Konferensi Tahunan liga Muslim di Allahabad, dan pada tahun 1932, ia ikut dalam koferensi meja bundar di London yang membahas konstitusi baru bagi India. Pada bulan Okteber tahun 1933, ia di undang ke Afganistan untuk membicarakan Universitas Kabul. Pada tahun 1935, ia jatuh sakit dan bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia. Dan pada tahun itu ia meninggal pada tanggal  20 April 1935.
2.      Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal
Sebagai seorang pembaharu, Iqbal menyadari perlunya melakukan pembaharuan dalam dunia Islam hal ini di sebabkan kebekuan ummat Islam dalam pemikiran dan di tutupnya pintu Ijtihad. Mereka seperti kaum konservatif, menolak kebiasaan berfikir Rasional kaum Mu’tazilah karena hal tersebut membawa Disisntegrasi ummat Islam dan membahayakan kestabilan politik mereka.
Hal ini yang di anggap sebagai penyimpangan dari semangat Islam, semangat dinamis dan kreatif. Islam tidak statis tetapi dapat di sesuaikan dengan perkembangan zaman. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup karena ijtihad merupakan ciri dari dinamika yang harus di kembangkan dalam Islam.
Lebih jauh ia menegaskan bahwa syari’at pada prinsipnya tidak statis, tetapi merupakan alat untuk merespon individu dan masyarakat, karena Islam selalu mendorong terwujudnya perkembangan.[8]
Besar nya penghargaan Iqbal terhadap gerak dan perubahan ini membawa pemahaman yang di namis tentang Al-Qur’an dan hukum Islam. Tujuan di turunkan Al-Qur’an, menurutnya adalah membangkitkan kesadaran manusia sehingga mampu menerjemahkan dan memjabarkan nas-nas Al-qur’an yang bersifat global dalam realita kehidupan dengan kemampuan nalar manusia dan dinamika masyarakat yang selalu berubah inilah yang dalam rumusan Fiqh di sebut dengan ijtihad yang oleh iqbal di sebut sebagai prinsip gerak dalam struktur islam.
Oleh karena itu, untuk mengembalikan semangat dinamika Islam, Ijtihad harus di jadikan ijtihad kolektif. Menurut iqbal, peralihan kekuasaan ijtihad individu yang mewakili mazhab tertentu kepada lembaga legeslatif Islam adalah salah satu cara paling tepat untuk menggerakkan spirit dalam sisitem hukum islam yang selama ini hilang dari ummat islam dan menyeru kapada kaum muslimin dan mengembangkanya lebih lanjut.







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
-          Paham wahabi dengan pondasi pemikiran Salafi menentang seluruh bentuk perubahan dalam kehidupan umat manusia.
-          Muhammad Abduh memandang bahwa menggunakan akal merupakan salah satu dasar Islam. Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal.
-          Menurut Syeikh Waliyullah al-Dahlawi Manusia mempunya tiga perangkat ruhani dengan sifat-sifatnta yang khas, yaitu akal, hati dan nafsu.
-          Muhammad Iqbal mengatakan bahwa syari’at pada prinsipnya tidak statis, tetapi merupakan alat untuk merespon individu dan masyarakat, karena Islam selalu mendorong terwujudnya perkembangan.
B.     Saran
Hendaknya kita semua dapat mengambil manfaat dan hikmah dari pemikiran-pemikiran tokoh ilmu kalam tersebut diatas.















DAFTAR PUSTAKA

DR. Abdul Rozak, M.Ag. DR. Rosihon Anwar, M. Ag, Ilmu Kalam, Pustaka Setia Bandung: 2006.
Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung 2001
Departemen Pendidikan Nasional.,Ensiklopedi Islam,PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2002
Drs. H. Sahilun A Nasir. Pengantar Ilmu Kalam Raja grafindo Persada. Jakarta: 1996:
Nasution, Harun, Dr, Prof. 1990. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran Dan Gerakan. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Harun Nasution, Ensiklopedia Islam, III (DEPAG: Jakarta , 1988)
Muhamad Abdul Mujib, Ahmad Ismail dan Syafi’ah, Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Gazali, Penerbit Hikmah jakarta 2009



[1] Quraish shihab, study kritis tafsir al-manar, pustaka hidayah, bandung, 1994, hlm 12

[2] Nasution, loc, cit,
[3] Di antara tujuan kunjungan nya adalah mendiskusikan kemerdekaan Mesir dengan para diplomat Inggris. Di sini pula Abduh berkenalan dengan Wilfrid Scawen Blunt, seorang penulis Inggris yang berpartisipasi atas nasib Mesir 
[4] Harun Nasution, Muhammad abduh dan Teologi Rasional, UI Press, 1987, hlm 57
[5] Nasution, Pembaharuan ….op. cit hlm 74
[6] Patrick Bannerman, islam in perspective : a guide to Islamic society, politics and law, routledge London en new york for the royal institute of international affairs, London, hlm. 132

[7] Abdul Wahab Azzam, Iqbal : siraTuh wa Falsafah wa syi’Ruh, terj, Pusataka, Bandung. 1985, hlm, 17
[8] Marshal G.S. Hudgson, The vEnture Of Islam, Chicago Press, Chicago, 1974, hlm, 39

1 komentar: