BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ilmu
kalam sebagaimana diketahui membahas ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Di
dalam ilmu kalam itu terdapat sub bahasan yang tentang perbandingan antara
aliran-aliran serta ajaran-ajarannya. Dari perbandingan antar aliran ini, kita
dapat mengetahui, menela’ah dan membandingkan antar paham aliran satu dengan
aliran yang lain. sehingga kita memahami maksud dari segala polemik yang ada.
Dalam
Islamic Studies atau Dirasat Islamiyah, ilmu kalam (`ilm al-kalâm) termasuk kajian
yang pokok dan sentral. Ilmu ini termasuk rumpun ilmu ushuluddin (dasar-dasar
atau sumber-sumber pokok agama). Begitu sentralnya kedudukan ilmu kalam dalam
Dirasat Islamiyah sehingga ia menawari, mengarahkan sampai batas-batas tertentu
"mendominasi" arah, corak, muatan materi dan metodologi kajian-kajian
keislaman yang lain, seperti fikih, (al-ahwal al-syakhsyiyah, perbandingan
mazdhab, jinayah-siyasah), ushul fiqh, filsafah (Islam), ulum al-tafsir, ulum
al-hadist, teori dan praktik dakwah dan pendidikan Islam, bahkan sampai
merembet pada persoalan-persoalan yang terkait dengan pemikiran ekonomi dan
politik Islam.
B.
Rumusan
Masalah
Dalam
makalah ini penulis akan memaparkan pembahasan tentang perbandingan antara
aliran-aliran yang ikut berperan dalam ilmu kalam seperti pembahasan di bawah
ini.
1. Apa isi dari perbandingan aliran?
2. Aliran apa saja yang membahas
tentang isi makalah ini?
C.
Tujuan
Dari
penjelasan makalah ini penulis bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah ilmu
kalam di samping itu untuk memperdalam pemahaman mahasiswa agar mempunyai
wawasan yang luas tentang pemikiran aliran-aliran dalam ilmu kalam dan bisa
menentukan mana yang terbaik bagi mereka.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Wahyu
dan akal
Kaum
Mu'tazilah berpendapat semua persoalan di atas dapat diketahui oleh akal
manusia dengan perantara akal yang sehat dan cerdas seseorang dapat mencapai
makrifat dan dapat pula mengetahui yang baik dan buruk. Bahkan sebelum wahyu
turun, orang sudah wajib bersyukur kepada Tuhan. Menjauhi yang buruk dan
mengerjakan yang baik.
Berbeda
dengan Mu'tazilah, kaum asy’ariyah berpendapat akal memang dapat mengetahui
adanya Tuhan. Tetapi akal tidak
dapat
mengetahui cara berterima kasih kepada Tuhan. Untuk mengetahui hal-hal tersebut
diperlukan wahyu. Melalui wahyu manusia bisa mengetahuinya. Tanpa wahyu,
manusia tidak akan tahu.
Golongan
maturidiyah samarkan berpendapat, akal dapat mengetahui adanya Tuhan kewajiban
dan berterima kasih kepada Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Tetapi akal
tidak dapat mengetahui bagaimana kewajiban berbuat baik dan meninggalkan buruk,
karena itu wahyu sangatlah diperlukan untuk menjelaskannya. Golongan
maturidiyah bukhara sependapat dengan kaum asy’ariyah.[1]
B.
Pelaku
dosa besar
1. Menurut aliran Khawarij
Ciri yang menonjol dari aliran
Khawarij adalah watak ektrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam.
Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status
pelaku dosa besar. Mereka memandang bahwa orangorang yang terlibat dalam
peristiwa tahkim, yakni Ali, Mu'awiyah, amr bin al-ash, Abu Musa al-asy’ari
adalah kafir, berdasarkan firman Allah pada surat al-Maidah ayat 44:
“Barang siapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.”
Semua pelaku
dosa besar (murtabb al-kabiiah), menurut semua sub sekte khwarij, kecuali
najdah adalah kafir dan akan disiksa dineraka selamanya. Sub sekte yang sangat
ekstrim,azariqah, menggunakan istilah yang lebih mengerikan dari kafir, yaitu
musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung
dengan barisan mereka. Adapun pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah
beralih status keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan berarti ia telah
keluar dari Islam, mereka kekal dineraka bersama orang-orang kafir lainnya.
2. Menurut aliran Murji’ah
Pandangan aliran murji’ah tentang
setatus pelaku dosa besar dapat ditelusuri dari definisi iman yang dirumuskan
oleh mereka. Secara garis besar, sebagaimana telah dijelaskan sub sekte
Khawarij dapat dikategorikan dalam dua kategori: ekstrim dan moderat.
Harun nasution berpendapat bahwa
sub sekte murji’ah yang ekstrim dan mereka yang berpandangan bahwa keimanan
terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan
refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan
perbuatan seseorangyang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti telah
menggeser atau merusak keimanannya. Bahkan keimanannya masih sempurna dimata
Tuhan. Adapun murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa
besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa dineraka, ia tidak kekal
didalamnya, bergantung pada ukuran dosar yang dilakukannya. Masih terbuka
kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga ia bebas dari siksa
neraca.
3. Menurut aliran Mu'tazilah
Perbedaannya, bila khwarij
mengkafirkan pelaku dosa besar dan murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa
besar, Mu'tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku
dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir, kecuali dengan sebutan yang
sangat terkenal, yaitu al-manzilah baial manzilataini. Setiap pelaku dosa
besar, menurut Mu'tazilah, berada diposisi tengah diantara posisi mukmin dan
kafir. Jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, ia akan
dimasukkan ke dalam nerak selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang
diterimanya lebih ringan dari pada siksaan orang-orang kafir. Dalam
perkembangannya, beberapa tokoh Mu'tazilah, seperti wastul bin atha’ dan amr
bin ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik yang bukan mukmin atau
kafir.
4. Aliran Asy’ariyah
Terhadap pelaku dosa besar,
agaknya al-asy’ari, sebagai wakil ahl-as-Sunah, tidak mengkafirkan orang-orang
yang sujud ke baitullah (ahl-al-qiblah) walaupun melakukan dosa besar, seperti
berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman
dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi
jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan
(halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir.
Adapun balasan
di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar, apabila ia meninggal dan tidak sempat
bertaubat, maka menurut al-asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan
Yang Maha Esa berkehendak mutlaq. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa
asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan murji’ah, khususnya
dalam pernyataan yang tidak mengkafirkan para pelaku dosa besar.
5. Aliran Maturidiyah
Aliran maturidiyah, baik samarkand
maupun bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin
karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di
akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. jika ia meninggal tanpa
tobat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah
SWT. jika menghendaki pelaku dosa besar diampuni, ia akan memasukkan ke neraca,
tetapi tidak kekal didalamnya.
6. Aliran Syi’ah Zadiyah
Penganut Syi’ah zaidiyah percaya
bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal di dalam neraka, jika ia belum
tobat dengan tobat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah zaidiyah memang
dekat dengan Mu'tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat washil bin
atha’, mempunyai hubungan dengan zaid moojan momen bahkan mengatakan bahwa zaid
pernah belajar kepada washil bin atho’2
C.
Sifat-sifat
Tuhan
1. Menurut aliran Mu'tazilah
Pertentangan paham antara kaum
Mu'tazilah dan kaum asy’ariyah dalam masalah ini berkisar sekitar persoalan
apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai sifat-sifat itu
mestilah kekal seperti halnya dengan zat Tuhan. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat
akan membawa kepada paham banyak yang kekal (ta’addud al-qudama’ atau
poltiplicity of eternals). Dan ini selanjutnya membawa pula kepada paham syirik
atau polyteisme. Suatu hal yang tak dapat diterima dalam teologi.
Sebagian telah dilihat dalam
bagian 1, kaum Mu'tazilah mencoba
menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai
sifat. Ini berarti bahwa Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai
kekuatan dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui dan sebagainya bukanlah sifat
dalam arti kata sebenarnya. Arti “Tuhan mengetahuidengan perantara pengetahuan
dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri.
2. Menurut Aliran Asy’ariyah
Kaum asy’ariyah membawa
penyelesaian yang berlawanan dengan Mu'tazilah mereka dengan tegas mengatakan
bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut aliran asy’ariyah sendiri tidak dapat
diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatannya, di
samping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui dan sebagainya, juga menyatakan bahwa
ia mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.[3]
3. Aliran Maturidiyah
Dapat ditemukan persamaan antara
al-maturidi dan alasy’ari, seperti di dalam pendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat
seperti sama’, basher dan sebagainya. Walaupun begitu pengertian al-maturidi
tentang sifat berbeda dengan alasy’ari. Menurut al-maturidi sifat tidak
dikatakan sebagai esensinya dan bukan pula dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan
itu mulazamah (ada bersama, baca: inheren) dzat tanpa pemisah. Tampaknya paham
al-maturidi, tentang makna sifat cenderung mendekati paham Mu'tazilah.
Perbedaannya almaturidi mengaku adanya sifat-sifat sedangkan al-Mu'tazilah menolak
adanya sifat-sifat Tuhan.
4. Aliran Syi’ah Rafidhah
Sebagian besar
tokoh Syi’ah rafidhah menolak bahwa Allah senantiasa bersifat tahu, namun
adapula sebagian dari mereka berpendapat bahwa Allah tidak bersifat tahun
terhadap sesuatu sebelum ia menghendaki. Tatkala ia menghendaki sesuatu, ia pun
bersifat tahu, jika dia tidak menghendaki, dia tidak bersifat tahu, maka Allah
berkehendak menurut merek adalah bahwa Allah mengeluarkan gerakan (taharraka
harkah), ketika gerakan itu muncul, ia bersifat tahu terhadap sesuatu itu.
Mereka berpendapat pula bahwa Allah tidak bersifat tahu terhadap sesuatu yang
tidak ada.[4]
D.
Iman
dan kufur
1. Aliran Khawarij
Khawarij
menetapkan dosa itu hanya satu macamnya, yaitu dosa besar agar dengan demikian
orang Islam yang tidak sejalan dengan pendiriannya dapat diperangi dan dapat dirampas
harta bendanya dengan dalih merek berdosa dan setiap yang berdosa adalah kafir.
Mengkafirkan Ali, Utsman, 2 orang hakam, orang-orang yang terlibat dalam perang
jamal dan orang-orang yang rela terhadap tahkim dan mengkafirkan orang-orang
yang berdosa besar dan wajib berontak terhadap penguasa yang menyeleweng.[5]
Dan iman
menurut kwaharij, iman bukanlah tasdiq. Dan iman dalam arti mengetahui pun
belumlah cukup. Menurut Abd. Al-jabbar, orang yang tahu Tuhan tetapi melawan
kepadanya, bukanlah orang yang mukmin, dengan demikian iman bagi mereka
bukanlah tasdiq, bukan pula ma’rifah tetapi amal yangtimbul sebagai akibat dari
mengetahui Tuhan tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah
Tuhan.[6]
2. Aliran Murji’ah
Menurut sub sekte murji’ah yang
ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu.
Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari
kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan
keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan. Sementara yang dimaksud
murji’ah moderat adalah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar
tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal didalamnya
bergantung pada dosa yang dilakukannya.[7]
3. Aliran Mu'tazilah
Iman adalah tashdiq di dalam hati,
iktar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan konsep ketiga ini mengaitkan
perbuatan manusia dengan iman, karena itu, keimanan seseorang ditentukan pula
oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut pula olah Khawarij.[8]
4. Aliran Asy’ariyah
Menurut aliran
ini, dijelaskan oleh syahrastani, iman secara esensial adalah tasdiq bil al
janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan qaul dengan lesan dan melakukan
berbagai kewajiban utama (amal bil arkan) hanya merupakan furu’ (cabang-cabang)
iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan ke-Esaan Allah dengan kalbunya
dan juga membenarkan utusan-utusan nya beserta apa yang mereka bawa dari-Nya,
iman secara ini merupakan sahih. Dan keimanan seseorang tidak akan hilang kecuali
ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.[9]
5. Maturidiyah
Iman adalah tasdid dalam hati dan
diikrarkan dengan lidah, dengan kata lain, seseorang bisa disebut beriman jika
ia mempercayai dalam hatinya akan kebenaran Allah dan mengikrarkan kepercayaannya
itu dengan lidah. Konsep ini juga tidak menghubungkan iman dengan amal
perbuatan manusia. yang penting tasdid dan ikrar.
E.
Perbuatan
Tuhan dan Perbuatan manusia
1. Aliran Jabariyah
Menurut aliran ini, manusia tidak
berkuasa atas perbuatannya yang menentukan perbuatan manusia itu adalah Tuhan,
karena itu manusia tidak berdaya sama sekali untuk mewujudkan perbuatannya baik
atau buruk. Diumpamakan manusia seperti wayang yang tidak berdaya, bagaimana
dan kemana ia bergerak terserah dalang yang memainkan wayang itu. Dalang
manusia adalah Tuhan, ini dianggap paham Jabariyah yang dianggap moderat,
perbuatan manusia tidak sepenuhnya ditentukan untuk Tuhan, tetapi manusia punya
andil juga dalam dalam mewujudkan perbuatannya.
2. Aliran Qadariyah
Manusia mempunyai
iradat (kemampuan berkehendak atau memilih) dan qudrah (kemampuan untuk
berbuat). Menurut paham ini Allah SWT membekali manusia sejak lahirnya dengan
qudrat dan iradat, suatu kemampuan untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan
tersebut.[10]
3. Aliran Mu'tazilah
Paham ini dalam
masalah af’al ibadah seirama dengan paham Qadariyah untuk perbuatan-perbuatan
Tuhan, mereka berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban itu dapat
disimpulkan dalam satu kewajiban yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi
manusia seperti kewajiban Tuhan menepati janji-janji-Nya. Kewajiban Tuhan
mengirim Rasulrasul-Nya untuk petunjuk kepada manusia dan lain-lain.[11]
4. Aliran Asy’ariyah
Dalam menggambarkan hubungan
perbuatan manusia dengan qodrat dan iradat Tuhan, Abu Hasan Ali Bin Ismail
al-Asy’ari menggunakan paham kasb yang dimaksud dengan al-Kasb adalah
berbarengan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Artinya apabila seseorang
ingin melakukan suatu perbuatan, perbuatan itu baru terlaksana jika sesuai
dengan kehendak Tuhan.
5. Aliran Maturidiyah
Menurut golongan maturidiyah,
kemauan sebenarnya adalah kemauan Tuhan namun tidak selamanya perbuatan manusia
dilakukan atas kerelaan Tuhan karena Tuhan tidak menyukai perbuatan-perbuatan
buruk. Jadi di dalam aliran maturidiyah ada 2 unsur: kehendak dan kerelaan.
F.
Kehendak
Muthlak dan Keadilan Tuhan
1. Aliran Mu'tazilah
Mu'tazilah yang berperinsip
keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin bebuat zalim
dengan memaksakan kehendak kepada hamba-Nya kemudian mengharuskan hamba-Nya
untuk menanggung akibat perbuatannya, secara lebih jelas aliran Mu'tazilah
mengatakan bahwa kekuasaan sebenarnya tidak mutlak lagi. Itulah sebabnya Mu'tazilah
menggunakan ayat 62 surat Al-Ahzab (33)
سنة ال فى الذين خلوا من قبل ولن تجد لسنة ال تبديل
2. Aliran Asy’ariyah
Mereka percaya
pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak
mempunyai tujuan, yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata adalah
kekuasan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau
tujuan yang lain. Landasan surat al-Buruj ayat 16
فعال لمايريد
3. Aliran Maturidiyah
Kehendak mutlak
Tuhan, menurut maturidiyah samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan, Tuhan adil mengandung
arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat serta
tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban hanya terhadap manusia. pendapat ini
lebih dekat dengan Mu'tazilah.
Adapun
maturidiyah bukharak berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak, Tuhan
berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya tidak ada yang
menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Tampaknya
aliran maturidiyah bukhara lebih dekat dengan asy’ariyah.[12]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kaum Mu'tazilah berpendapat semua
persoalan di atas dapat diketahui oleh akal manusia dengan perantara akal yang
sehat dan cerdas seseorang dapat mencapai makrifat dan dapat pula mengetahui yang
baik dan buruk. Bahkan sebelum wahyu turun, orang sudah wajib bersyukur kepada
Tuhan. Menjauhi yang buruk dan mengerjakan yang baik.
Ciri yang menonjol dari aliran
Khawarij adalah watak ektrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam.
Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status
pelaku dosa besar.
Kaum asy’ariyah membawa
penyelesaian yang berlawanan dengan Mu'tazilah mereka dengan tegas mengatakan
bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut aliran asy’ariyah sendiri tidak dapat
diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatan nya, di
samping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui dan sebagainya, juga menyatakan bahwa
ia mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya. Menurut sub sekte murji’ah yang
ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu.
Oleh karena itu, segala ucapan dan
perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser
atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan
Tuhan. Kehendak mutlak Tuhan, menurut maturidiyah samarkand, dibatasi oleh
keadilan Tuhan, Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah
baik dan tidak mampu untuk berbuat serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban
hanya terhadap manusia. pendapat ini lebih dekat dengan Mu'tazilah.
B. Saran
Hendaknya kita
semua mengetahui aliran aliran dalam ilmu kalam, agar kita dapat
menjalanikehidupan penuh dengan keridhoan Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
DR. Abdul
Rozak, M.Ag. DR. Rosihon Anwar, M. Ag, Ilmu Kalam, Pustaka Setia Bandung: 2006.
Harun Nasution
Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Pebandingan UI Press, Jakarta:
1986
Drs. H. Sahilun
A Nasir. Pengantar Ilmu Kalam Raja grafindo Persada. Jakarta: 1996:
Drs. H. M.
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid. Raja Grafindo Persada Jakarta: 1993.
[3]Harun Nasution Teologi Islam
Aliran-aliran Sejarah Analisis Pebandingan UI Press, Jakarta: 1986 hal. 135-136
[6] Harun
Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran sejarah Analisis Perbandingan. Jakarta:
25006, UI press. Halm. 147
[7] DR.
Abdul Rozak, M.Ag. DR. Rosihon Anwar, M. Ag, Ilmu Kalam, Pustaka Setia Bandung:
2006. hal. 144-145
[11]
Harun Nasution.
Op.Cit. hal 128
[12]
Drs. Abd. Rozak.
M.Ag. Drs. Rosihon Anwar, M.Ag. Ilmu Kalam Op. Cit. hal. 182-187
Tidak ada komentar:
Posting Komentar